Rabu, 03 Desember 2014

Kesatuan Hidup Budaya Lokal Tradisional

BAB VIII
KESATUAN HIDUP LOKAL TRADISIONAL

1.      PEMBATASAN KONSEP
Kesatuan Hidup Setempat. Secara nyata, kesatuan hidup setempat selalu menempati suatu wilayah khusus. Apabila sebagian besar warganya mulai memencar ke berbagai tempat lain, maka ikatan yang utama dari kesatuan itu hilang. Orang yang tinggal bersama di suatu wilayah belum tentu merupakan suatu kesatuan hidup apabila mereka tidak merasa terikat oleh rasa bangga dan cinta kepada wilayahnya, sehingga ia tidak rindu untuk kembali ke sana apabila ia berada di tempat lain. Dalam buku-buku ajar sosiologi, kesatuan hidup setempat disebut community.
Sebagai suatu kesatuan manusia, komunitas tentu saja mempunyai rasa kesatuan seperti yang dimiliki hampir semua kesatuan manusia lainnya, namun perasaan kesatuan dalam komunitas itu biasanya sangat tinggi, sehingga ada rasa kepribadian kelompok, yaitu perasaan bahwa kelompoknya itu memiliki ciri-ciri kebudayaan atau cara hidup yang berbeda dari kelompok lainnya. Tetapi di samping itu seringkali ada juga perasaan negatif yang merendahkan atau menganggap aneh ciri-ciri yang ada dalam komunitas lain.
Sifat dari suatu komunitas adalah adanya wilayah dan cinta pada wilayah serta kepribadian kelompok itu merupakan dasar dari perasaan patriotism, nasionalisme, dll. Suatu negara memang dapat juga merupakan komunitas, apabila cinta tanah air dan rasa kepribadian bangsa itu besar.
Bentuk dari komunitas ada bermacam-macam; ada yang besar seperti misalnya kota, negara bagian, negara, tetapi ada pula komunitas-komunitas kecil yaitu band, desa, RT, dll.
Komunitas Kecil. Selain memiliki ciri-ciri komunitas pada umumnya (yaitu adanya wilayah, cinta pada wilayah dan kepribadian kelompok), komunitas kecil memiliki sifat-sifat tambahan yaitu :
a.       Para warganya masih saling mengenal dan saling bergaul secara intensif;
b.      Karena kecil, maka setiap bagian dan kelompok khusus ada yang di dalamnya tidak terlalu berbeda antara yang satu dengan yang lainnya;
c.       Para warganya dapat menghayati berbagai lapangan kehidupan mereka dengan baik.
Selama manusia hidup di muka bumi ini sejak kurang lebih 2 juta tahun yang lalu, sebagian besar dari waktu itu manusia hidup dalam masyarakat-masyarakat berbentuk komunitas kecil. Komunitas kecil dalam zaman prasejarah berupa kelompok-kelompok pemburu.
Komunitas-komunitas kecil pada umumnya ada di daerah pedesaan. Di setiap negara pasti ada daerah perkotaan dan daerah pedesaan. Di setiap negara pasti ada daerha perkotaan  dan daerah pedesaan, tetapi ada negara-negara yang lebih luas daerah pedesaannya, dan ada negara-negara yang lebih kecil daerah pedesaannya. Di Eropa Barat dan Amerika Serikat jumlah penduduk yang tinggal di daerah pedesaan lebih kecil daripada penduduk yang tinggal di kota. Sebaliknya di negara-negara Eropa Utara, Eropa Timur dan hampir semua negara di Asia, Afrika Tengah dan Selatan, jumlah penduduk pedesaan lebih besar. Di Indonesia, menurut sensus 1961, sebanyak 85,4% dari seluruh jumlah penduduknya adalah penduduk pedesaan.
Terutama bagi bangsa-bangsa dengan penduduk pedesaan yang besar, pengetahuan tentang komunitas kecil sangat penting, karena gejala dan masalah-masalah sosial yang terjadi di tingkat nasional tidak terlepas dari gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang terjadi di tingkat nasional tidak terlepas dari gejala-gejala dan masalah-masalah yang terjadi dalam komunitas kecil (yaitu desa-desa).

2.      BENTUK-BENTUK KOMUNITAS KECIL
Komunitas-komunitas kecil yang akan diuraikan (1) kelompok berburu (band), yang bermata pencaharian sebagai pemburu dan peramu, dan berpindah-pindah tempat di dalam batas suatu wilayah tertentu, dan (2) desa, yaitu kelompok kecil yang hidup menetap di suatu wilayah.
Band. Kelompok berburu biasanya terdiri dari kurang lebih 80-100 jiwa dan banyak yang bahkan lebih sedikit jumlah anggotanya. Dalam musim berburu, kelompok kecil seperti itu berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain untuk memburu hewan dan meramu tumbuhan liar. Pada malam hari mereka mendidrikan kemah atau tidur dalam gubuk-gubuk darurat yang mereka bangun dengan bahan-bahan yang mereka peroleh di sekitar mereka. Kelompok berburu hanya berburu dalam batas-batas suatu wilayah yang telah di tentukan. Kelompok itu mengetahui secara rinci semua cirri-ciri dari wilayah mereka, termasuk jenuis flora dan faunanya. Wilayah perburuan biasanya dipertahankan sekuat tenaga terhadap serangan-serangan kelompok-kelompok lain.
Dalam musim berburu, suatu band biasanya terpecah ke dalam kelompok-kelompok kecil, yang saling  memencar, sehingga pada saat-saat seperti itu desa-desa induk mereka tampak sunyi dan hamper tak berpenghuni. Namun pada waktu tidak ada kegiatan berburu, semua kelompok berkumpul kembali di desa-desa induk masing-masing. Pada waktu mereka berkumpul mereka mengadakan berbagai kesibukan dalam kehidupan sosial mereka, dengan mengadakan pesta-pesta, upacara-upacara keagamaan,dll.
Setiap musim berburu, suatu kelompok berburu biasanya pindah ke lokasi berburu yang berbeda, yang sesuai dengan suatu pola yang agak tetap. Namun ada kalanya mereka terpaksa mengubah arahnya karena berbagai sebab, misalnya berkurangnya hewan buruan di wilayah adat mereka. Dalam jangka waktu lama perjalanan kelompok-kelompok berburu seringkali dapat mencapai daerah-daerah uyang jauh letaknya. Penggalian-penggalian yang dilakukan para ahli prasejarah menunjukkan bahwa dari bekas-bekas alat kelompok-kelompok suku bangsa pemburu di zaman prasejarah diketahui bahwa mereka telah menempuh jarak yang sangat besar dalam suatu jangka waktu beribu-ribu tahun dan bahkan telah melintasi suatu benua. Kelompok-kelompok berburu yang menurunkan suku-suku bangsa Indian di Amerika Utara dan Amerika Selatan konon berasal dari bagian timur-laut Benua Asia, yang sekitar 25.000 tahun yang lalu menyeberangi Selat Bering, dan kemudian menyebar di seluruh Benua Amerika selama sekitar 17.000 tahun. Pola-pola kehidupan kelompok-kelompok berburu diuraikan oleh B.Spencer dan J.F.Gillin dalam buku mereka mengenai suku bangsa Arunta di Australia.
Suku-suku bangsa pemburu yang hidup dengan pola seperti tersebut, di abad 20 ini tidak banyak di jumpai lagi, dan sisa-sisanya yang masih ada adalah; kelompok-kelompok kecil suku bangsa Pygmee di pedalaman Togo, Kamerun dan Kongo, dan kelompok-kelompok Bushman di daerah Gurun Kalahari di Afrika Selatan. Di Asia kelompok-kelompok semacam itu hanya ada di beberapa daerah di Asia Tenggara (misalnya di pedalaman Malaysia) dan Siberia Timur-laut. Demikian juga di Australia masih ada beberapa kelompok di pedalaman Queensaland dan New South Wales. Di Indonesia (termasuk Irian Jaya) kelompok-kelompok pemburu dan peramu itu juga sudah hamper tidak ada lagi, kecuali di daerah pedalaman Sumtra Timur (misalnya orang Sakai,Kubu, dll), dan di Pedalaman Kalimantan (orang Punan). Di Irian Jaya hampir semua suku bangsa telah bercocoktanam.
Selain kelompok kelompok pemburu di daerah tersebut, suku-suku bangsa yang hidup sebagai peternak juga hidup dalam kelompok kelompok  dengan cirri-ciri komuniti kecil yang dapat disebut band pula. Dalam musim-musim tertentu kelompok-kelompok ternak bersama sekuruh keluarga mereka menggembalakan terrnak mereka ke padang-padang rumput. Pada malam hari mereka membangun kemah atau tadah angin sederhana, yang mereka bawa ke mana pun mereka pergi. Arah gerak penggembaraan itu mengikuti pola yang tetap dalam batas-batas suatu wilayah yang juga mereka pertahankan dengan gigih terhadap serangan kelompok-kelompok lain. Oleh sebab terjadi perubahan-perubahan arah serupa itu, pola perpindahan kelompok peternak itu seakan-akan lebih cepat menyebar dan meliputi wilyanh yang lebih luas daripada perpindahan pada suku-suku bangsa pemburu.
Suku-suku bangsa peternak pada umumnya mempunyai sifat yang agresif, karena mereka seringkali harus menghadapi pencurian-pencurian hewan ternak mereka oleh kelompok-kelompok ternak lain, dan karena mereka juga sering harus berperang melawan kelompok-kelompok lain untuk memperebutkan suatu wilyah penggembalaan yang baik. Dalam sejarah kebudayaan umat manusia suku bangsa peternak memang sering bersifat agresif, seperti kelompok-kelompok peternak Mongol-Tartar di Asia Tengah, yang dalam abad ke-12 dan ke-13 berperang hingga mencapai Kiev di daerah Sungai Jnepr di Rusia, yang mereka duduiki dalam tahun 1240. Begitu juga kelompok-kelompok peternak Arab Badawi, yang dalam abad 7 hingga abad ke-11 menguasai sebagian besar Benua Asia Barat daya dan sebagian besar Afrika Utara.
Ahli antropologi E.E. Evand Pritchard telah membuat suatu deskripsi yang rinci mengenai kehidupan kelompok penggembala ternak Niger yang tinggal di daerha hulu Sungai Nil di Sudan Selatan. Penelitian mengenai pola-pola gerak perpindahan menurut musim dan perubahan gerak perpindahan kelompok-kelompok Fula di daerah dataran tinggi Yos di Nigeria Utara, telah di teliti dan di deskripsi dengan baik oleh D.J. Stenning.
Suku-suku bangsa peternak yang hidup dalam komunitas kecil sekarang masih ada di negra Rusia, khususnya di Siberia Timur Laut, Siberia Tengah (daerah Sungai Lena dan Yensei, maupun di negara Kazakh dan Kirghiz). Di Indonesia tidak ada suku-suku bangsa yang hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang menggembalakan ternak secara besar-besaran.
Desa. Desa adalah wilyah yang di huni oleh suatu komunitas kecil secara tetap. Suku-suku bangsa penghuni desa umumnya bermatapencaharian bercocoktanam atau menangkap ikan. Berdasrkan pola perkampungannya, ada beberapa tipe desa.
Dalam masyarakat suku-suku bangsa peladang, desa biasanya tidak dihuni sepanjang masa, karena para peladang umumnya turut pindah bersama dengan ladangnya, terutama apabila jarak anatara desa dan ladang mereka menjadi terlalu besar. Sebabnya adalah karena setiapkeluarga inti membangun rumahnya di tegah lading mereka. Setiap 3 atau 4 tahun sekali mereka turut pindah dengan berpindahnya ladang mereka.
Dibandingkan dengan pola perkampungan desa-desa orang Subanun, di Indonesia desa-desa lebih mengelompok padat. Desa-desa di Indonesia seperti ini jarang turut pindah dengan lading; dan makin besar desanya, makin tetaplah sifatnya. Desa-desa suku bangsa Iban di Kalimantan Barat, misalnya terdiri dari sebanyak kurang lebih 150 jiwa. Peladang-peladang yang ladangnya terlalu jauh jaraknya dari desa, biasanya membangun gubuk sementara di tengah ladang mereka. Namun gubuk-gubuk yang semula dimaksudkan sebagai tempat hunian sementara, seringkali merupakan awal dari suatu desa baru yang masih menjadi bagian desa induk, tetapi yang lambat laun melepaskan diri dan berdiri sendiri. Proses perpisahan seperti itu tidak hanya terjadi pada desa-desa orang Iban, tetapi juga di desa-desa peladang lain di dunia.
Ahli antropologi W.C. Bennett dan R.M. Zing telah membuat deskripsi mengenai komunitas kecil serupa itu di desa-desa suku bangsa Indian Tarahumara di Meksiko Barat. Pola kehidupan dalam desa-desa suku bangsa Tarahumara juga ada di Indonesia, yaitu desa-desa orang Toraja di daerah pegunungan Sulawesi Tengah, yang biasanya sepi selama musim bercocok tanam, tetapi penuh dan ramai selama masa panen.
Sebagian besar desa-desa di Indonesia merupakan kelompok-kelompok perkampungan tetap yang dihuni sepanjang tahun. Terutama di daerah-daerah dengan pertanian menetap, desa adalah pusat kehidupan para petani.
Didaerah pegunungan, desa seringkali berlokasi di lembah-lembah atau di tepi danau. Suku-suku bangsa yang tinggal di daerah pedalaman sekitar Palembang, di daerah pedalaman Kalimantan, Sulawesi Tengah atau pulau-pulau lain di Indonesia, dapat dialokasikan menurut lembah, sungai, dan danau-danau yang ada di suatu daerah.

by http://elysabethervinaqueen.blogspot.com/2012/06/kesatuan-hidup-budaya-lokal-tradisional.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar