Membicarakan
masalah pendidikan memang tak pernah lekang selama pendidikan itu
sendiri masih dibungkus oleh kepura-puraan, nafsu memperebukan kedudukan
dan pemaksaan satu flatfom berpikir bersama terhadap seluruh rakyat.
Pendidikan sebagai garda terdepan kemajuan, seharusnya mampu membangun
karakter bangsa, mempengaruhi budaya dan membentuk paradigma berfikir
yang progresif dan visioner. Jadi, mengingat kacaunya sistem dinegeri
ini, sudah seharusnyalah pemerintah lewat instrumennya totalitas dalam
mewujudkan semua itu sesuai dengan amanah konstitusi. Tapi lagi-lagi,
pendidikan dinegeri ini seperti tidak jelas arah yang ingin dicapai.
Masih banyaknya permasalahan dalam dunia pendidikan sepertinya
menjauhkan harapan undang-undang dalam usaha mencerdaskan kehidupan
bangsa. Bahkan lahirnya generasi pemuja trendi dan gaya hidup tak bisa
kita lepaskan dari peranan pendidik. Tentunya ini membuat kita bertanya,
kenapa sekolah tidak lagi berdaya untuk memberikan harapan dan juga
tidak berdaya menghasilkan manusia yang tangguh menghadapi tantangan
moral maupun intelektual. Kenapa proses pembodohan masih saja terjadi.
Bahkan tersistematis. Padahal pendidikan harus menjadi penunjang
kemerdekaan. Lalu apa yang sebenarnya salah dalam negeri ini, sistem
kah, sekolah kah, orang tua, murid ataukah guru? Benarkah sekolah
menjadi ladang persemaian dari proses pencapaian itu? Benarkah guru yang
memberikan arti dari proses persemaian itu? Benarkah anak didik berjiwa
merdeka setelah berproses dalam pendidikan?
Pada
dasarnya, esensi pendidikan itu ialah membangun, membentuk dan
menghasilkan manusia yang merdeka. Merdeka jiwanya dan merdeka batinnya.
Merujuk pada konsep Ki Hadjar Dewantara (K.H Dewantara Bag. Pertama;
Pendidikan, 2004), mendidik itu sendiri adalah berdaya upaya dengan
sengaja untuk memajukan hidup-tumbuhnya budi-pekerti (rasa-pikiran-roh)
dan badan anak dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan, jangan
disertai dengan perintah dan paksaan. Jadi teranglah bahwa pendidikan
bisa diartikan sebagai tuntunan didalam hidup tumbuhnya anak-anak.
Maksudnya yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak
itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Nah jelas
sekali esensi pendidikan kalau dilihat dari penjelasan itu. Tapi,
seiring perjalanan waktu, esensi itu hilang dan tergantikan oleh
teori-teori yang substansinya menjajah. Jadi pendidikan tidak seperti
yang di gariskan KHD yang totalitas melayani kebutuhan generasi dalam
negeri, membebaskan anak dari semua bentuk penjajahan dan mencerdaskan
kehidupan bangsa seperti amanat undang-undang, tapi pendidikan sekarang
hanya sebatas perahan oleh kepentingan kelompok-kelompok tertentu
(kapital dan neoliberal). Padahal, kalau merujuk pada petunjuk
pendahulu, maka permasalahan pendidikan seharusnya dapat diminimalisir
bahkan ditiadakan. Bahkan sampai masalah pedagogik (sistem among). Lebih
dari itu, guna menunjang kemerdekaan lahir dan batin sang anak didik
yang nyata, KHD pun dengan tegas menyatakan bahwa antara guru dan murid
dibangun relasi yang menyerupai seperti rekan (partner) dalam proses
belajar mengajar. Jadi dengan cara itu, maka praktik dikotomis bisa
diminimalisir. Tapi nyatanya, pendidikan kita bukannya meminimalisir
dikotomi tersebut, malah sebaliknya sengaja dipelihara. Pendidikan
dengan guru sebagai instrumennya, sengaja memelihara phobia tersebut
agar menekan arus kritik atau masukan terhadap sosok guru yang ’katanya’
berwibawa. Dengan adanya dikotomi ini akhirnya menimbulkan perbedaan
dimana guru ditempatkan sebagai patron dan murid sebagai klien. Jadi
seolah-olah guru adalah seorang ’resi’ yang tidak bisa dibantah,
sekalipun salah (jadi benar seperti yang dikatakan bahwa nasib murid ada
ditangan (tepatnya: ujung pena) sang guru. Berani melawan guru bisa
berakibat buruk meskipun sebenarnya guru sendiri yang salah. Bahkan
jangankan berani melawan guru, membantah saja sudah pasti alamat buruk).
Tentunya dari kekacauan sistem dan metoda pendidikan yang ada sekarang, mengingatkan kita pada kritik metode pendidikan gaya bank (banking concept education) Paulo Freire, dimana murid diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mapan dan berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak-anak didik.
Sementara itu, anak didik pun lantas di perlakukan sebagai ’bejana kosong’ yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman ’modal ilmu pengetahuan’ yang akan dipetik hasilnya kelak. Ini setali tiga uang dengan konsep ’TabulaRasa’ Jhon Locke, dimana anak didik diposisikan sebagai instrumen yang hanya bisa menerima saja apa yang dikatakan oleh guru. Sehingga model pendidikan akhirnya hanya menjadi tranfer ilmu pengetahuan semata antara sang guru dengan sang murid dengan mengekang alam bawah sadar sang anak didik tanpa perlu mereka melakukan kritik otokritik terhadap sistem yang selalu berubah setiap waktu. Jadi guru adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif dimana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingatkan dan dihapalkan tanpa memberikan kemerdekaan bagi sang anak didik untuk menganalisa dan menentukan sendiri apa yang dicarinya.
Tentunya dari kekacauan sistem dan metoda pendidikan yang ada sekarang, mengingatkan kita pada kritik metode pendidikan gaya bank (banking concept education) Paulo Freire, dimana murid diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mapan dan berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak-anak didik.
Sementara itu, anak didik pun lantas di perlakukan sebagai ’bejana kosong’ yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman ’modal ilmu pengetahuan’ yang akan dipetik hasilnya kelak. Ini setali tiga uang dengan konsep ’TabulaRasa’ Jhon Locke, dimana anak didik diposisikan sebagai instrumen yang hanya bisa menerima saja apa yang dikatakan oleh guru. Sehingga model pendidikan akhirnya hanya menjadi tranfer ilmu pengetahuan semata antara sang guru dengan sang murid dengan mengekang alam bawah sadar sang anak didik tanpa perlu mereka melakukan kritik otokritik terhadap sistem yang selalu berubah setiap waktu. Jadi guru adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif dimana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingatkan dan dihapalkan tanpa memberikan kemerdekaan bagi sang anak didik untuk menganalisa dan menentukan sendiri apa yang dicarinya.
Secara
sederhana Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan ’gaya bank’ itu
ialah (1) guru mengajar, murid belajar (2) guru tahu segalanya, murid
tidak tahu apa-apa (3) guru berpikir, murid dipikirkan (4) guru bicara,
murid mendengarkan (5) guru mengatur, murid diatur (6) guru memilih dan
memaksakan pilihannya, murid menuruti (7) guru bertindak, murid
membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan gurunya (8) guru memilih
apa yang diajarkan, murid menyesuaikan diri (9) guru mengacaukan
wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan
mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid, dan (10) guru adalah
subyek proses belajar, murid obyeknya - Oleh karena guru yang menjadi
pusat segalanya, maka merupakan hal yang lumrah saja jika murid-murid
kemudian mengidentifikasi diri seperti gurunya sebagai prototip manusia
ideal yang harus ditiru dan digugu, harus diteladani dalam semua hal
(Paulo Freire; Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan,
2007).
Implikasinya,
menurut Freire, lebih jauh adalah bahwa pada saatnya nanti murid-murid
akan benar-benar menjadikan diri mereka sebagai duplikasi guru mereka
dahulu. Sistem pendidikan, karena itu menjadi sarana terbaik untuk
memelihara keberlangsungan status quo sepanjang masa yang menjadikan
anak didik sebagai manusia terasing dan tercerabut dari realitas dirinya
sendiri dan realitas dunia sekitarnya (sangat berbeda dengan yang
pernah di impikan KHD bahwa dengan pendidikan akan menggiring manusia
menuju kemerdekaannya baik batin maupun lahirnya), bukan menjadi
kekuatan penggugah (subversive force) kearah perubahan dan pembaharuan.
Dengan pendidikan semacam itu, maka anak didik pada akhirnya menjadi
makhluk-makluk mitos pemuja simbol-simbol duniawi lewat angka-angka yang
diberikan oleh guru. Anak didik sengaja dilekatkan pada proses
penciptaan rasa kecintaan pada segala yang tidak memiliki jiwa kehidupan
(nekrofili) dan bukannya melahirkan kecintaan pada segala yang memiliki
jiwa kehidupan (biofili)’ (Erich Fromm, 1966).
Tidak
hanya itu, realitas negeri ini selalu memperlihatkan keberingasannya
dalam membentuk pola yang seragam dari setiap lintas generasi.
Alasan-alasan klasik acapkali menjadi tameng yang sesungguhnya kontra
rakyat dan inkonstitusi. Lihat saja contohnya anggaran untuk pendidikan
yang selalu tersendat selama-lamanya. Sehingga berimbas pada pemenuhan
kebutuhan dalam pendidikan seperti fasilitas dan sebagainya. Pendidikan
masih dijadikan ’anak tiri’ (tak jauh berbeda seperti dimasa kolonial)
di dalam negeri. Ini bisa kita perbandingkan dengan Jepang yang terkenal
dengan kehebatan sains dan ketinggian teknologinya. Mengapa bisa
begitu? Mengapa Jepang mampu menjadi negara yang mencipta teknologi
sedangkan kita hanya mampu menjadi pengguna teknologi? Itu karena Jepang
benar-benar menghargai arti pendidikan, mendahulukan kepentingan
pendidikan daripada kepentingan yang lain, dan tidak segan-segan
mengeluarkan dana yang besar untuk pendidikan (M. Joko Susilo;
Pembodohan Siswa Tersistematis, 2007). Sedangkan negara kita hanya sibuk
membicarakan kedudukan sehingga pendidikan menjadi perhatian yang
kesekian. Jadi wajar kalau pendidikan kita mundur. Selain itu, tri pusat
pendidikan seperti yang di gagas KHD, tak semuanya berlaku. Bahkan yang
terjadi hanya tunggal pusat yaitu pendidikan di sekolah. Celakanya
inipun tidak dilakukan secara maksimal dan terlalu banyak ’permainan’
didalamnya, baik oleh oknum guru maupun oleh institusi sekolah. Berbagai
kasus seperti korupsi dan lainnya adalah cermin terhadap budaya
tersebut. Kurikulum pun juga selalu membingungkan anak didik dimana
outcame nya tidak jelas juntrungannya. Artinya pembangunan karakter
terhadap anak didik tidak pernah dilakukan. Padahal pendidikan karakter
penting peranannya dalam menciptakan watak dan kepribadian. Terjadinya
tindakan amoral dan melawan hukum seperti korupsi dan sebagainya adalah
buah dari problem mendasar manusia secara moral dan mentalitas yang
terkait dengan watak dan kepribadian. Karena pendidikan seharusnya
membangun watak yang baik sehingga mampu menjadi pribadi yang baik dan
membuat karakter yang baik pula. Sehingga dengan karakter yang baik,
mungkin tindakan amoral dan lainnya seperti melawan konstitusi tidak
akan terjadi. Tapi perlu diingat bahwa dalam pendidikan karakter, sudah
seharusnya terlebih dahulu pendidik harus memenuhi komitmen, integritas
dan kapabilitas atau kemampuan dan ketrampilan. Ini supaya pendidikan
tidak hanya menjadi sekadar pelajaran biasa yang lebih menekankan pada
aspek kognitif saja (Melki AS; SKH Kedaulatan Rakyat; Menunggu
Pendidikan Karakter, 01 Mei 2010). Nah, disini sekolah adalah salah satu
jembatan untuk membangun karakter itu. Kalau prosesnya buruk, maka akan
melahirkan karakter yang buruk pula. Kalau prosesnya baik, maka
karakter yang tercipta pun akan baik pula. Celakanya lagi adalah di
negeri ini justru tidak ada pendidikan karakter. Bagaimana mau
menselaraskan dengan cita-cita nasional ‘Charachter and National
Building’? Sementara berbicara proses, lembaga pendidikan pun tidak
mampu mengerem itu semua. Justru lembaga pendidikan malah berselimutkan
korupsi (termasuk korupsi waktu yang bayak dilakukan para guru. Kalau
boleh dibilang, korupsi waktu mengajar adalah termasuk kejahatan
pendidikan/educational crime). Sehingga kegagalan pendidikan seperti
yang banyak disitir berbagai kalangan menjadi maklum karena ternyata
terjadinya berbagai proses pembodohan yang dilakukan sekolah ataupun
guru memang sudah tersistemkan.
Nah ini semua yang menyebabkan pendidikan di tanah air ini semakin mundur. Diperparah lagi dengan tidak jelasnya regulasi pemerintah dalam menyikapi bahaya laten kapitalisme yang nyata-nyata merasuk ke dalam dunia pendidikan kita. Contohnya UU BHP. Meskipun sudah dicabut tapi perlu kita catat bahwa ini adalah upaya mengkapitalisasikan pendidikan dimana muaranya adalah menjual pendidikan dengan ber-orientasikan pada profit (bisnis pendidikan) sehingga bisa dibayangkan semakin banyak rakyat akan menjadi bodoh karena semakin susah akses untuk mengenyam pendidikan. Tapi itu tidak perlu dicemaskan lagi karena sudah dicabut. Yang perlu dikhawatirkan juga adalah bahaya laten pasca BHP dicabut. Karena sangat berpotensi terjadinya kanibalisme. Artinya konten yang ada dalam BHP yang telah dicabut itu, bisa saja dikembalikan dalam bentuk dan format berbeda oleh sebuah permen (peraturan menteri). ”Karena pembatalan BHP justru hanya manipulasi terminologi saja yang sebenarnya pemerintah tidak rela oleh pembatalan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga berupaya tetap menghidupkan roh (BHP) dengan jasad yang berbeda” tulis Darmaningtyas pada SKH Kompas, Senin 03 Mri 2010. Cara itu ditempuh pemerintah karena disatu sisi tidak mau dituduh melanggar putusan MK, disisi lainnya mereka juga tidak ingin di permalukan atas pembatalan UU BHP. Mereka sudah terlanjur teken kontrak dengan Bank Dunia melalui Proyek Pengembangan Relevansi dan Efisiensi Pendidikan Tinggi untuk mewujudkan UU BHP paling lambat tahun 2010. Nah kalau ini masih terjadi, tentunya bertentangan dengan amanah konstitusi, dimana hak untuk mendapatkan pendidikan dijamin berdasar undang-undang dan dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah. Sudah seharusnya rakyat mengerti itu, guru juga mengerti sehingga terjadi pengawasan bersama terhadap policy yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut. Karena tanpa pengawasan bersama maka memungkinkan untuk terjadi tsunami pendidikan mengingat bahwa manusia sebenarnya adalah homo economicus yang berusaha mencari untung yang sebesar-besarnya meskipun harus menjual dunia pendidikan dll. Bahkan kalau ini terjadi dan terus tanpa regulasi yang jelas, maka bukan tidak mungkin, seperti yang ditulis Anthony Giddens dalam bukunya ’Dunia yang Berlari’, bahwa umat manusia bisa mati oleh keserakahan beberapa orang saja (Anthony Giddens,Runaway world; The Thirth Way, 1999).
Nah ini semua yang menyebabkan pendidikan di tanah air ini semakin mundur. Diperparah lagi dengan tidak jelasnya regulasi pemerintah dalam menyikapi bahaya laten kapitalisme yang nyata-nyata merasuk ke dalam dunia pendidikan kita. Contohnya UU BHP. Meskipun sudah dicabut tapi perlu kita catat bahwa ini adalah upaya mengkapitalisasikan pendidikan dimana muaranya adalah menjual pendidikan dengan ber-orientasikan pada profit (bisnis pendidikan) sehingga bisa dibayangkan semakin banyak rakyat akan menjadi bodoh karena semakin susah akses untuk mengenyam pendidikan. Tapi itu tidak perlu dicemaskan lagi karena sudah dicabut. Yang perlu dikhawatirkan juga adalah bahaya laten pasca BHP dicabut. Karena sangat berpotensi terjadinya kanibalisme. Artinya konten yang ada dalam BHP yang telah dicabut itu, bisa saja dikembalikan dalam bentuk dan format berbeda oleh sebuah permen (peraturan menteri). ”Karena pembatalan BHP justru hanya manipulasi terminologi saja yang sebenarnya pemerintah tidak rela oleh pembatalan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga berupaya tetap menghidupkan roh (BHP) dengan jasad yang berbeda” tulis Darmaningtyas pada SKH Kompas, Senin 03 Mri 2010. Cara itu ditempuh pemerintah karena disatu sisi tidak mau dituduh melanggar putusan MK, disisi lainnya mereka juga tidak ingin di permalukan atas pembatalan UU BHP. Mereka sudah terlanjur teken kontrak dengan Bank Dunia melalui Proyek Pengembangan Relevansi dan Efisiensi Pendidikan Tinggi untuk mewujudkan UU BHP paling lambat tahun 2010. Nah kalau ini masih terjadi, tentunya bertentangan dengan amanah konstitusi, dimana hak untuk mendapatkan pendidikan dijamin berdasar undang-undang dan dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah. Sudah seharusnya rakyat mengerti itu, guru juga mengerti sehingga terjadi pengawasan bersama terhadap policy yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut. Karena tanpa pengawasan bersama maka memungkinkan untuk terjadi tsunami pendidikan mengingat bahwa manusia sebenarnya adalah homo economicus yang berusaha mencari untung yang sebesar-besarnya meskipun harus menjual dunia pendidikan dll. Bahkan kalau ini terjadi dan terus tanpa regulasi yang jelas, maka bukan tidak mungkin, seperti yang ditulis Anthony Giddens dalam bukunya ’Dunia yang Berlari’, bahwa umat manusia bisa mati oleh keserakahan beberapa orang saja (Anthony Giddens,Runaway world; The Thirth Way, 1999).
Selain
itu, yang turut memperkeruh pendidikan ialah dengan adanya
pemaksaan-pemaksaan yang dilakukan pemerintah dan di turuti oleh
instrumen dibawahnya seperti di sekolah. Pemerintah sibuk dengan
mengujicobakan berbagai konsep, yang pada akhirnya banyak yang
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya kebijakan tentang
UAN, PT BHMN, Internasionalisasi, dan sebagainya. Lihat saja contoh
UAN, secara logik, dapat dilihat bagaimana tidak adilnya metode itu
untuk menilai kualitas sang anak didik. Karena kualitas anak didik di
tentukan sesuai dengan dirinya sendiri. Adanya metode ujian akhir,
sebaiknya cukup pada tataran melihat batas kemampuan murid, bukannya
menjadi penentu segalanya dari pendidikan mereka. Padahal mereka belajar
bertahun-tahun, tapi pada akhirnya di tentukan dengan ujian yang cukup
satu minggu saja dengan beberapa pelajaran saja. Jadi wajar, selama UAN
masih ada, maka bukan tidak mungkin pada momen kelulusan, telinga kita
di penuhi informasi tentang murid yang stress bahkan bunuh diri,
disamping hura-hura berlebihan yang ditunjukan oleh mereka yang lulus.
Jadi kalau anak didik lulus dan mendapat nilai besar (nilai disini
berarti yang dilihat berdasar angka) dalam setiap ujian, maka bisa
dikatakan cerdas, pandai, pintar dan sebagainya. Padahal kecerdasan itu
adalah sesuatu yang linier dengan perkembangan dan perubahan. Adakalanya
teori lama tak terpkai lagi, dan adakalanya teori itu masih relevan
dengan zaman. Adanya konsep UAN seperti yang dilakukan sampai sekarang
ini turut merubah paradigma berpikir bahwa satu-satunya hal yang paling
keramat dalam pendidikan adalah simbolisasi yang ditunjukan dengan angka
yang menyapu semua ilmu pengetahuan sama seperti matematika, fisika
serta ekonomi yang abstrak. Padahal ada cabang ilmu lainnya yang
membutuhkan nalar berpikir karena selalu berubah seiring perubahan zaman
yang cepat. Misalnya pelajaran Pancasila. Karena seperti dalam
pembelajaran Pancasila, dituntut untuk suatu penghayatan, bukan berdasar
hitungan semata. Tapi lagi-lagi, dalam pelajaran ini, sekolah dan guru
pun gagal mengajarkan esensinya. Karena yang diketahui murid cuma
penghapalan sila dan pasal per pasalnya saja. Esensi, penghayatan serta
pengamalannya justru tidak sama sekali diajarkan. Maka tak heran ketika
praktik melawan hukum selalu subur dinegeri ini karena ’nilai-nilai’
(nilai disini berarti yang dilihat berdasarkan esensi) ke-Indonesiannya
memang tidak dipernah digubriskan, apalagi diajarkan.
Sementara
itu, kebijakan tentang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dengan
iming-iming kualitas lebih baik, justru hanya sekadar menjadi cerita
usang dibalik ironisnya nasib rakyat negeri ini yang semakin memburuk
karena perang gengsi dunia ekonomi. Karena justru yang ada bukannya
bertaraf internasional, yang ada adalah bertarif (biaya) internasional.
Jadi wajar kalau rakyat tidak punya uang banyak, maka tidak bisa
mengakses pendidikan. Jadi kebijakan itu seharusnya belum perlu
dimasukan karena memang belum terlalu penting bagi bangsa ini mengingat
masih banyak yang belum bisa mengakses pendidikan. Bahkan dari catatan
dinas pendidikan (www.TempoInteraktif.com/Rabu 28 April 2010) sendiri
bahwa perbandingan kualitas (output) dari sekolah berstandar
Internasional dengan sekolah nasional biasa, justru lebih unggul sekolah
nasional dengan perbandingan angka keluusan dari 97, 74 % ditahun
sebelumnya, menjadi 89,88 % ditahun ini (meskipun disini KHD menolak
istilah sekolah-sekolah dengan identitas unggul, penilaian berdasar
simbol angka-angka seperti metode UAN dan sebagainya). Jadi rasanya
mustahil ketika kita ingin membicarakan kualitas yang baik di tengah
kuantitas yang ironik. Artinya, kualitas boleh saja kita turunkan
asalkan kesempatan untuk bisa mengenyam pendidikan bisa dirasakan oleh
seluruh rakyat (Melki AS; SKH Kedaulatan Rakyat; Menunggu Pendidikan
Karakter, 01 Mei 2010).
Nah
berkaca dari itu semua, sudah seharusnya dalam usaha memperbaiki segala
keadaan tentang pendidikan adalah kembali ke dasar dan esensi
pendidikan sebelumnya. Kiranya ada baiknya jikalau pemerintah menerapkan
pendidikan karakter dan budi pekerti yang memang telah lama di
hilangkan dinegeri ini. Karena dengan adanya pendidikan karakter dan
budi pekerti, bangsa ini bisa menuai generasi yang mampu bertarung
secara moral dan intelektual dalam dunia yang selalu berubah-ubah tanpa
meninggalkan ciri khas kebangsaannya. Karena budi pekerti menyokong
perkembangan hidup anak-anak, lahir dan batin, dari sifat kodratinya
menuju kearah peradaban dalam sifatnya yang umum. Ini berbeda dengan
pengajaran biasa, karena didalam pengajaran budi pekerti, lebih
menekankan pada proses penganjuran kepada anak-anak agar membiasakan
bertingkah laku yang baik supaya dapat pengertian dan penginsyafan pula
tentang kebaikan dan keburukan pada umumnya. Kemudian mampu melakukan
pelbagai laku yang baik dengan cara di sengaja. Inilah yang disebut KHD
dengan metode tri ’Ng’; Ngreti, Ngrasa, Nglakoni (menyadari, menginsyafi
dan melakukan). Ini sama halnya dengan pola pendidikan islam yang
metodenya ditekankan pada ’Syariat, Hakikat Tarikat dan Makrifat’.
Selain itu, proses pendidikan (hubungan guru dan murid dalam menyemai
proses itu) pun juga harus kembali pada proses memanusiakan manusia.
Bukan malah menjadikan manusia seperti kerbau yang di colok hidungnya
dan bisa di perintah apa saja seenak hati. Sudah seharusnya dalam proses
tersebut, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan
pertimbangan sang guru sendiri di ujikan kembali setelah dipertemukan
dengan pertimbangan murid-murid. Begitupun sebaliknya. Hubungan keduanya
pun harus jelas yaitu bukan antara patron (subyek/guru) dengan klien
(obyek/murid). Karena obyek sesungguhnya adalah realita, bukan murid.
Jadi pendidikan bersandar pada proses dialogisnya, bukan
pencapaian-pencapaian hasil akhir lewat simbol angka-angka dan
sebagainya. Dan dengan proses ini maka pendidikan akan benar-benar
menciptakan generasi yang saling menghargai dan merdeka seperti yang
diamanatkan Ki Hadjar Dewantara. Pemerintahpun sebagai muara dari segala
keputusan juga harus peka mendengar suara-suara dari masyarakat agar
policy yang di keluarkan benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat.
Pemerintah juga jangan hanya asyik berpolitik ’ngawur’ saja, korupsi,
bermesum ria, menghabiskan uang rakyat dengan kemasan studi banding
keluar negeri, tapi sekarang benar-benar harus mulai berpikir bagaimana
caranya untuk memperbaiki keadaan pendidikan negeri ini dengan
menyiapkan metode dan model serta pola pendidikan yang sifatnya
humanistik dan berkualitas. Karena kalau tidak, maka jangan harap kita
bisa menatap pendidikan yang menghasilkan generasi yang bisa memajukan
bangsa. Justru yang akan kita lihat adalah pendidikan tak ubahnya
seperti panggung komedi opera pembodohan kalau tidak ditanggulangi
segera.
Dan
yang tak kalah pentingnya adalah ketertarikan menjadi pendidik jangan
hanya berdasar pada iming-iming gaji. Tapi memang harus dengan penuh
rasa pengabdian yang tulus sebagai lokomotif memajukan bangsa dan
meneruskan cita-cita nasional. Harus kita akui bahwa kemunduran
pendidikan adalah juga merupakan imbas dari pendidik atau gurunya
sendiri yang tidak konsisten dalam mendidik. Para guru dewasa ini
kebanyakan hanya ingin menjadi guru karena penghasilannya saja tanpa
mempertimbangkan apakah murid bisa berkembang atau tidak, bodoh atau
pintar, mampu atau tidak mampu. Yang terpenting kata ’mereka’ bahwa kami
hanya mengajar dan pemenuhan jam mengajar itu saja, kemudian setiap
awal bulan ambil gaji. Nah tinggal sekarang yang sadar akan artinya
pendidikan, terutama guru, harus lebih dewasa dan obyektif lagi dalam
mengarahkan kemajuan dan usaha pencerdasan bangsa ke depan. Tanpa itu
semua, maka bukan hanya pendidikan saja yang akan runtuh, bahkan negara
pun bisa jatuh karena masyarakatnya bodoh. Sekiranya, era kolonial telah
mengajarkan bahwa dengan kebodohan maka sulit di capai kemerdekaan.
Nah, haruskah kita kembali ke era kolonial tersebut. Saya rasa kita bisa
katakan Tidak. Itu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar