Satu
kata yang kini menyisakan goresan luka yang begitu dalam di hati Ririn,
yaitu kata cinta yang di ucapkan Rama satu tahun lalu. Kata yang pernah
membuat hatinya terbang dengan sayap bidadari yang begitu indahnya, dan
kini kata itulah yang membuat sayap itu patah dan akhirnya Ririn
terhenpas ke jurang patah hati yang begitu dalam, hingga Ia tak sanggup
untuk bangkit dan keluar dari jurang itu.
Ririn menyebut itu hukum cinta yang sudah di gariskan Tuhan untuknya,
tapi tetap hatinya tak bisa menerima kenyataan itu, kenyataan saat Ia
harus kehilangan Rama yang begitu Ia cintai. Memang Rama tak sepenuhnya
meninggalkan Ririn, karna sampai sekarang Ia masih sering bertemu, namun
cinta Rama sudah jauh terbang meninggalkan Ririn yang hingga kini masih
terpuruk di jurang patah hati.
Ririn masih terpaku di pinggir Danau yang tak begitu luas, namun masih
bisa menampung kesedihan yang selama setahun ini menyelimuti hatinya.
Satu kenyataan pahit yang harus Ia terima, berapa banyak pun hati yang
menghampirinya, Ia masih belum sepenuhnya melupakan cinta yang sudah
membuat hatinya Hancur, menjadi kepingan-kepingan yang sulit untk di
susun kembali.
Lima bulan lalu saat Tuhan mempertemukan Ririn dengan Rama, yang kini
sudah dimiliki hati yang lain, Ririn harus mampu menahan gejolak yang
tercipta dalam hatinya. Sakit memang, namun inilah kenyataannya. Senyum
yang menyimpan beribu tetes air mata, yang masih tertahan.
Suara yang tak asing lagi di telingan Ririn, yah siapa lagi kalau bukan
suara Rama yang kini terdengar jelas di telinganya, “pantai yang indah
untuk mengukir kenangan yang indah pula”, Ririn terdiam mendengar suara
itu berbisik di telinganya. Ririn hanya mampu membalasnya dengan berdiri
membisu dan memalingkan pandangannya dari Rama. “kenapa.??, kenapa kamu
tetap berdiri kokoh di atas kemunafikanmu itu, cinta itu belum mati
Rin, cinta itu masih tumbuh di hatimu, jangan biarkan kemunafikanmu itu
membuat cintamu hilang”,
Bendungan
airmata yang dari tadi di pertahankan Ririn kini bobol sudah, tetes air
mata yang makin lama makin deras dan di sertai isak yang terdengar
samar, “bukankah kemunafika itu adalah kamu??, ya… kemunafikan itu Kamu
Rama”. Sambil menyeka air matanya, Ririn melanjutkan perkataanya,
“biarkan aku berdiri di tengah kemunafikanku, tapi apakah pernah
terbayang olehmu, jika cinta yang begitu kau sanjung kini berubah
menjadi cinta yang paling kau benci dan melahirkan sebuah kemunafikan,
dan kemunafikan itu kamu”. Rama menatap mata Ririn yang kini sudah
berubah menjadi telaga air mata yang bergelombang, dan menggambarkan
sakit yang begitu dalam.
Detik demi detik berlalu tanpa kata, sampai akhirnya Rama mencoba
meraih tangan Ririn, yang dari tadi sibuk menyeka air mata yang mengalir
begitu derasnya. “cinta itu masih ada, cinta itu ada Rin”, Ririn
memalingkan wajahnya dan mencoba melepaskan tangannya dari genggaman
Rama, “Aku tahu cinta itu ada, tapi cinta itu bukan untukku, cinta itu
sudah terbingkis untuk hati yang lain”, Rama kembali meraih tangan
Ririn, “cinta kita masih ada, mencintaimu adalah kenangan terindah yang
pernah terlukis dalam hidupku, aku ingin menyimpan lukisan cinta kita,
dan akan ku simpan di hatiku, tanpa ada seorangpun yang bisa mengambil,
atau mengahpusnya dari hatiku, karna cinta itu adalah Kamu”. Ririn
mencoba menatap mata yang dari tadi mengharapkan balasannya, “simpan
saja kata indahmu itu, semua sudah tak berarti lagi, biarkan aku terbang
walau dengan sayap cinta yang tlah patah”.
Rama menarik nafas panjang dan memalingkan pandangannya, Ia mencoba
menterjemahkan kata demi kata yang di ucapkan Ririn, sampai akhirnya Ia
menemukan kesimpulannya. “aku akan membiarkanmu terbang dan lepas,
cintamu bebas untuk bertengger di hati siapapun yang kamu mau, tapi
ingat, suatu saat, cinta itu akan terbang kembali untukku”. Rama
melangkah meninggalkan Ririn yang kini masih berdiri di tepi jurang
kesendiriannya.
Ririn berbalik menatap langkah Rama yang kini mulai menjauh darinya.
Ririn hanya mampu menjerit dalam hati, “cinta, bukan cerita seperti ini
yang aku mau. Cinta… jangan pergi, jangan biarkan aku sendiri”. Rama
seolah mendengar jeritan itu, Ia menoleh dan mendapati Ririn yang masih
berdiri terpaku tanpa mencoba menghentikan langkah Rama. Rama pun
berlalu tanpa kata.
bgus cerpenny..
BalasHapus